7 Apr 2011

Menghargai “Jalan Fikiran Anak ”





Suatu hari , karena ribut di dalam kelas, murid-murid sebuah sekolah mendapat hukuman dari guru. Agar hukuman itu mendidik, sang guru menugaskan kepada muridnya untuk menjumlahkan angka dari 1 sampai 100. Ketika murid-murid lain sedang sibuk menghitung, tidak sampai satu menit seorang anak berjalan kearah guru dan menyerahkan hasil hitungannya.
Ternyata jawaban anak itu benar, yaitu ; 5050. Tentu saja sang guru heran, lalu bertanya bagaimana ia bisa menjumlah dengan secepat itu. Anak itu menjawab,” Mudah saja, 1 ditambah 100 sama dengan 101, 2 ditambah 99 sama dengan 101, 3 ditambah 98 samadengan 101. Ada 50 pasangan angka yang seperti itu. Saya kalikan 101 dengan 50, maka hasilnya 5050.
Anak tersebut kemudian tumbuh menjadi seorang yang sangat pandai dalam memecahkan persoalan matematika.
Dunia kemudian mengenalnya dengan Karl Friedich Gauss ( 1777-1855 ), ahli matematika dan ilmuwan dari Jerman. Ia banyak memberi sumbangan pikiran di bidang Analisis, Geometri, relatiitas dan energy atom.
Cara yang dilakukan Gauss dalam memecahkan soal matematika tentu saja bukan cara yang diajarkan oleh gurunya. Ia menemukan pemecahan matematika itu sendiri. Anak-anak dengan jalan fikirannya ternyata mampu menciptakan pemecahan soal yang sebelumnya tak terfikirkan oleh orang dewasa.
Barangkali muncul pertanyaan di benak kita, bagaimana mungkin anak kecil bisa melakukan hal yang tidak bisa dilakukan orang dewasa. John Holt dalam bukunya “ How Children Fail “ memaparkan hasil pengamatannya sebagai seorang guru di AS selama bertahun-tahun terhadap anak didiknya. Dengan rinci John Holt memperlihatkan bagaimana anak-anak berfikir dan menciptakan jalannya sendiri dalam memecahkan berbagai persoalan.
Selama ini kadang anak dianggap bodoh atau salah karena cara menyelesaikan masalahnya berbeda dengan hasil pikiran orang dewasa. Tak jarang anak pulang dalam keadaan sedih karena hasil pekerjaanya , walaupun jawabannya benar dianggap salah karena  cara yang ditempuh anak tidak sama dengan yang diajarkan oleh guru.
Andaikan Gauss kecil kemudian disalahkan karena tidak menghitung urut sebagaimana biasanya, mungkin ia takkan digelari “Pangeran ahli Matematika”, Boleh jadi ia menjadi anak yang tidak “pede’ karena cara berfikirnya dipandang nyeleneh, dan menentang guru, dan ia tumbuh menjadi orang dewasa biasa yang tidak memberi kontribusi terhadap masyarakat dan dunia.
Anak-anak ibarat benih pohon, meskipun bagus dan berkualitas, ia tidak akan tumbuh sempurna jika ditanam di lahan yang tandus. Sejenius apapun Gauss jika tidak didukung oleh orang tua, guru dan lingkungannya, maka ia tidak akan menjadi orang yang hebat.
Untuk menjadi orang dewasa yang berkualitas, ia membutuhkan lingkungan yang mendukung, yaitu orang tua , guru dan lingkungan yang meghargai cara berfikirnya, yang membuat ia kreatif mengeluarkan ide, dan gagasannya.
Biarlah anak-anak pelajari sendiri diri dan dunia ini dengan cara pandang mereka sendiri.( Suara Hidayatullah, Januari 2010 )

2 komentar:

Dani Kaizen mengatakan...

@Bunda Yasmin, ya benar, pemikiran anak2 memang terkadang dianggap "aneh" oleh orang dewasa...padahal pemikirannya itu justru lebih efektif dan baik.... :-)

salam buat anak2 dirumah... :-)

Unknown mengatakan...

Terima kasih sudah berkunjung :-)

Posting Komentar

 
;